Sepertinya Jalaludin Rumi benar !!



Aku suka menulis. Karena dengan menulis aku bisa menceritakan semua tentangmu, bagaimana rupamu, seperti apa aku mengenalmu, lalu jatuh cinta padamu. Dalam diam.
****
Beginilah manusia saat musim panas berlenggak-lenggok dengan anggun segala macam rutukan serta keluhan berjejer manis mengiringinya. Bumi seperti akan pecahlah, bumi sudah seperti nerakalah, dan rentetan keluhan-keluhan lainnya. Padahal sudah seharusnya diterima inilah resiko untuk manusia-manusia yang tinggal dinegara tropis. Ya, Indonesia. Negara yang notabene hanya punya dua musim. Panas dan tentunya hujan. Ada satu hal yang tidak diketahui banyak orang. Bahwa sebenarnya Indonesia itu indah. Tepat, tentu saja ditempat kini aku berpijak kota Istimewa Yogyakarta.
Kini, musim hujan telah menunjukkan  eksistensinya. Diguyurnya kota Istimewa ini tanpa ampun. Mungkin karena terlalu lama duduk manis di singgasananya hingga hujan terkadang egois mengguyur seluruh kota sejak ayam bahkan belum enggan berkokok hingga adzan maghrib berkumandang syahdu.
Aku mengerang pelan, belum enggan untuk benar-benar membuka mata. Jam beker yang sedari tadi berteriak-teriak tanpa bosan itu jatuh begitu saja saat aku berusaha menjangkau keberadaannya tepat diujung meja belajar. Ku putuskan untuk kembali membenamkan tubuh dan kembali meringkuk didalam selimut. Jelas saja, meskipun jarum panjang pada jam dinding sudah menetapkan keberadaannya di angka Sembilan suasana diluar masih seperti subuh. ‘’Ini semua gara-gara hujan’’ rutukku kembali merapatkan selimut.  Seharusnya diwaktu yang beranjak siang ini aku sudah harus bereuphoria bersama setempuk tugas-tugas kuliah yang bertengger manis dimeja belajar. Alhasil, jatuhlah aku kembali dalam euphoria surganya para mahasiswa, tentu saja bisa tidur seharian diantara tumpukan-tumpukan tugas yang menjerit-jerit tanpa ampun.
Seseorang pernah berkata padaku bahwa segala hal itu akan kembali padamu jika Tuhan mengijinkannya. Aku percaya itu. Meski kau dijeda milyaran detik untuk bertemu pandang bahkan di bentengi lautan yang Maha Luas sekalipun. Jika Tuhan menggariskan takdir indah itu maka kau akan tetap dipertemukan dengan seseorang itu. Baiklah, aku juga percaya hal itu.
Wajahku yang memerah sempurna tersapu senja. Sekomplotan dedaunan yang antara kering dan tidak itu masih saja bersikap egois untuk terus menempel pada ranting yang sudah jelas ingin mencampakkannya selain karena hujan yang mengguyur kota seharian kemarin tanpa bosan. Ah sudahlah, aku sudah tak peduli. Sebab, mataku kini tertuju pada pemandangan yang cukup membuatku menahan napas sesaat. Aku berjalan mengikuti sosok yang tampaknya sibuk dengan sesuatu yang menarik perhatiannya itu disepanjang etalase. Aku masih tak bergeming, juga tak berusaha untuk mengeluarkan sepatah katapun. Masih benar-benar sibuk menela’ah pemandangan yang berada tepat didepan mataku ini. Dia itu, lelaki maskulin dengan tubuh tinggi semampai memiliki senyum khas yang tak pernah bisa aku gambarkan. Dia, alasan dari banyaknya lamunan yang aku lakoni. Penyebab dari tanpa sadarnya diam-diam menyebutnya dalam do’aku.
Sekarang aku melihatnya. Sungguh, aku tak menyangkal bila saat ini ku katakan jantungku berdebar seiring dengan nafasku yang berantakan. Seharusnya aku tak begini. Sebab aku tahu mungkin saja dia tak merasakan hal yang sama mengingat aku bahkan tidak pernah berbicara sepatah katapun dengannya. Satu hal yang aku ketahui sejak kudapati senyumku mengembang saat pertama kali bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu, aku mulai menyukainya, selalu ingin tahu segala hal tentangnya. Meski dalam diam. Ah, sepertinya Jalaludin Rumi benar bahwa ‘’Karena cinta duri menjadi mawar. Karena cinta cuka menjadi anggur segar’’. Mungkin juga karena cinta duri yang menancap kuat dihatiku berubah menjadi hamparan mawar yang lembut.

Komentar

Postingan Populer