Aku Pernah Marah



Amarah itu mematikan hati.
Melukai.
Menutup maaf.
Dan menciptkan benci.
----------------------------------------------------------------------------------

Itu, kutipan yang aku ambil dari teenlit. Bacaan kesukaanku beberapa waktu terakhir. Enggak semua sih, tapi teenlit yang ini udah aku baca belasan kali. Judulnya “Cewek”. Kamu bisa baca, harus pake hati.

Dua puluh satu tahun hidup, tumbuh dan berkembang aku baru kepikiran untuk menuliskan ternyata selama waktu yang panjang itu aku pernah marah pada banyak hal yang terjadi sama hidup dan kehidupan. Bahkan sesekali aku menyesali apa yang sedang aku jalani atau apa yang pernah aku lewati.

Dulu, aku pernah marah karena Mamah selalu memukul kakiku karena enggak bisa masuk dilingkar tiga besar dikelas. Masa merah putih adalah masa dimana seharusnya aku belajar sesuka hatiku, semuaku, seinginku. Kenapa? Karena aku ingin belajar mencari apa yang aku sukai. Menikmati masa dimana seharusnya belajar dan bermain adalah dua hal yang harus aku lakukan bersamaan. Sayangnya, bagi Mamah kewajibanku cuma belajar. Enggak ada kompromi. Aku marah, berontak, menekuk wajah, membanting kaki dan pintu ketika masuk kamar. Sedikitpun enggak terpikirkan untuk aku menimbang bagaimana perasaan Mamah saat itu. Aku terlalu hanyut dengan rasa marah yang menggebu atas ketidak adilan yang aku rasakan. Kenapa aku harus belajar ketika teman-teman sepermainan bisa asyik bermain.

Kemarahan yang terus menjadi itu bikin hatiku jadi keras. Secara enggak langsung aku membuat diriku sendiri menjadi anak durhaka. Meski menjalankan apa yang diinginkan mamah dengan baik, aku masih terus mencibir, masih terus mempertahankan kebiasaanku membanting pintu dihadapan mamah, juga tidak pernah sekalipun aku lakukan dengan ikhlas. Jahatnya aku yang dulu.
Meski waktu berlalu, meski pada rentang hari-hari itu Tuhan menghukumku dengan menyulitkan apa-apa yang aku lakukan. Tak mewujudkan apa yang aku cita-citakan meski aku mati-matian berusaha. Tak kunjung membuatku sadar atas apa yang telah aku lakukan. Pada Mamahku. Padahal, surga ditelapak kaki beliau.

Kemarin, beberapa tahun yang lalu aku sudah harus menjalani kehidupan yang mandiri. Merantau sendiri di kota yang tak pernah aku datangi. Sebelumnya. Aku kembali marah ketika untuk kuliah pun aku masih harus dipaksa untuk menuruti yang tidak ingin aku turuti. Aku dipaksa untuk belajar hal yang tidak ingin aku pelajari. Lagi dan lagi. Marahku yang dulu semakin menumpuk, marahku yang dulu enggak kunjung surut. Namun, semakin kuat kemarahan itu semakin sulit juga apapun yang aku lakukan. Aku sering menangis. Aku sering sekali mengeluh. Aku bukan anak manis yang dengan mudah mengambil hati orang lain. Aku juga bukan orang yang gampang basa-basi dan menciptakan obrolan seru. Pada akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain mencurahkan segalanya pada mamah.

Kamu tahu? Seorang mamah yang aku perlakukan dengan sebegitu buruknya menangis tanpa berpikir untuk berhenti. Menyalahkan diri sendiri, kecewa akan dirinya sendiri karena telah membuat anaknya kesulitan, sering menangis dan harus jatuh bangun. Aku segera menutup telepon, sudah tidak sanggup melanjutkan drama mengenaskan barusan. Semalaman aku berpikir, merenung, dan menimbang. Rasanya semua ini salah. Salah karena aku tak pernah berpikir Mamah memaksaku bukan tanpa alasan. Mamah saja, yang aku perlakukan begitu masih merasa menyesal atas apa yang beliau lakukan. Bagaimana denganku? Tanpa merasa bersalah aku selalu berburuk sangka dan berperilaku buruk.

Nyatanya, kemarahan benar-benar mengeraskan hati, menutup maaf dan menciptakan benci. Dan aku tidak dapat apapun. Setelah merenung semalaman itu aku memutuskan untuk ikhlas, menjalani segalanya untuk kebahagiaan beliau.






Komentar

Postingan Populer