Kapan Hijrah ?
Terimaksih Jogjakarta,
untuk waktu dan kenangan yang sempat kami lukis. Walaupun sekarang tembok
tinggi yang menamai diri jarak mencegah kami untuk saling bercengkrama. Meski begitu
hal demikian enggak bikin kami berhenti untuk saling menjalin silaturahmi
melalui komunikasi. Terimakasih lagi untuk teknologi masa kini yang semakin
hari semakin canggih, semakin memanjakan dan memudahkan. Jadi jarak bukan lagi
satu-satunya alasan untuk tidak berkomunikasi.
Bicara komunikasi,
beberapa waktu lalu aku ngobrol via whatsapp
sama mantan tetangga kostku yang sekarang wara-wiri mencari jati diri dan
pekerjaan yang layak selepas jadi sarjana. Dia udah aku anggep kayak saudara
sendiri, kita bisa saling terbuka satu sama lain dan menjadi diri sendiri
ketika bersama, dan yang penting saling mengingatkan meski kita juga banyak
cekcok. Obrolan ini berawal dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan orang ke-aku
tentang “Kapan Hijrah??”. Pada akhirnya
aku mulai diskusi dengan beberapa orang termasuk mantan tetangga kosku ini.
Wajar memang
ketika banyak orang yang mempertanyakan hal tersebut mengingat orang-orang
disekitarku melakukan hal yang demikian. Berhijrah. Enggak ada yang salah
dengan melakukan hal tersebut. Malah bagus. Aku? Masih merenung. Jangan sampai
berhijrah yang asal-asalan. Aku enggak mau begitu. Hijrah dari sudut pandangku
adalah hijrah yang lahir dan batin. Bukan hijrah yang menyakiti orang lain. Tapi
sedikit demi sedikit. Istiqomah, meski didepan nanti banyak ujian serta godaan.
Hijrah yang tidak hanya merubah penampilan, tetapi juga sifat, sikap, perilaku apalagi hati.
Gimana bisa
aku sebut diri ini hijrah kalau langkah ini justru bikin aku malah merasa
paling benar, paling tahu segala hal, paling bisa menyalahkan apa yang orang
lain lakukan. Gimana bisa aku bilang sudah berhijrah ketika berkerudung aku
masih punya banyak penyakit hati. Masih sulit buat nahan emosi. Masih selalu
ngumpat dalam hati ketika ada yang enggak sesuai sama apa yang aku inginkan dan
masih pacaran.
Kenapa untuk
berhijrah aku perlu waktu yang panjang? Karena hijrah bukan sesuatu yang
main-main. Hijrah adalah keputusan besar menuju pribadi yang lebih baik bukan
terbaik. Karena paling baik dan segala sesuatu yang baik hanya milik Allah. Sebagai
muslimah aku tentu ingin langkah besar yang aku namai hijrah ini nanti akan
membawa dampak yang baik buat lingkungan sekitarku, orang terdekatku, dan
siapapun yang kenal aku. Hijrahku nanti dengan kerudung yang mungkin akan lebih
syar’I aku harap bisa jadi jembatan bagi ayah dan suamiku menuju syurga. Semua muslimah
pasti pengen begitu kan?
Pemikiran,
perenungan dan pertimbangan yang panjang juga perlu. Beberapa orang (yang jelas
pernah aku temui) meskipun enggak semua mengambil keputusan untuk berhijrah
hanya sebatas pakaian. Iya, pakaian yang syar’I lantas megomentari pakaian
orang lain. Ada juga yang memutuskan berhijrah meski pada akhirnya hanya
memenuhi linimasa instagram dengan banyak postingan tentang agama kemudian
merasa paling benar, merasa nasihatnya harus diikuti tanpa seikitpun mau repot
untuk me-muhasabah diri. Sudah benar kah diri sendiri? Sudah layakkah
mengomentari?
Kapan hijrah? Sekarang
pun aku sedang dalam proses tersebut. Hijrah bagiku adalah ketika aku sedikit
demi sedikit memperbaiki shalat fardhu yang kebanyakan masih enggak tepat
waktu. Memperbaiki sikap yang mungkin enggak sopan, memperbaiki sifat yang suka
emosian dan sering meledak-ledak, meluruskan niat dalam melakukan sesuatu hal, mengurangi penyakit-penyakit hati yang
menggerogoti, membenarkan sedikit-sedikit pakaian yang aku kenakan dan banyak
hal-hal buruk yang Allah tutupi dari pandangan orang lain. Yang aku tahu
hal-hal kecil bisa membawa perubahan yang besar.
Komentar
Posting Komentar