Tujuh Hari dalam Seminggu
Sabtu kemarin, aku ngobrol banyak sama mamen (nama
aslinya mentari cuma aku seneng aja manggil dia dengan nama itu) mulai dari
rencana kita setelah wisuda, keheranan kita sama lingkungan sekitar dan lebih
khusus ke manusianya sendiri juga masalah-masalah up to date yang sekarang lagi heboh dibicarain dari mulut ke mulut
serta semua media online. Bicara
tentang rencana setelah wisuda, aku sendiri memilih untuk bekerja bahkan
sebelum mempertanggungjawabkan hasil belajarku selama empat tahun didepan
panitia ujian skripsi. Saat itu mikirnya, cuma buat cari pengalaman, lama-lama
berubah jadi keinginan untuk ngisi waktu luang. Sedangkan Mamen sendiri memilih
buat kuliah lagi dijenjang master. Buntutnya, dia kebingungan karena enggak ada
kerjaan selama nunggu pengumuman
penerimaan masternya.
Kita sempat punya keinginan untuk belajar diluar
negeri, ngerasain gimana sistem pendidikannya sampe Negara-negara luar itu bisa
maju, pengen tahu budaya mereka seperti apa beragam atau justru terbatas, apalagi
kebiasaannya enggak ada salahnya untuk ditiru yang baik-baiknya. Ini nih salah
satu hal yang bikin aku betah ngobrol seharian sama mamen karena untuk masalah
ini kita nyambung banget, kita sama-sama manusia yang pengen nyoba banyak hal
baru dan positif. Semoga aja keinginan ini suatu saat bisa tercapai.
Keinginan itu juga dilatarbelakangi oleh ketidak
inginan kita buat kembali kedaerah asal.
Buat apa? Disana enggak bisa berkembang. Segala macam akses dan informasi
terbatas. Dan yang lebih penting adalah kita pernah dapet pertanyaan-pertanyaan
aneh bin mengherankan. Enggak lebay cuma buat aku itu bikin cukup gimana
yaa. Kaget mungkin, sedih, atau justru
heran.
Entah
aku atau mamen kita sama-sama pernah
dapet pertanyaan macam gini :
“Mbak
spp semester delapan berapa sih?”
*Please, ini yang kuliah kamu tapi
kok nanya orang lain?*
*Padahal informasi spp tiap semester
ada dibuku panduan yang dikasih ketika jadi mahasiswa baru, atau kalau enggak
mau repot nyari bukunya bisa nanya ke bagian keuangan atau tata usaha*
“Tik,
jadwal yudisium kapan sih?”
*Bukannya
jadwal yudisium itu urusan fakultas atau tata usaha?*
“Toko
buku dimana?”
*Karena kita sama-sama perantau dan
jadi mahasiswa bukannya toko buku atau perpustakaan wajib buat kita tahu? Kan
berguna banget kalo ngerjain skripsi, atau masa empat tahun kuliah enggak beli
buku sama sekali?*
“Kok
kamu tahu banyak info sih”
*Please,
info itu dicari kan? Mana mungkin info bisa datang sendiri tanpa kita cari
tahu?*.
“Kok
kamu ngerti tentang itu sih? Tahu dari mana? Baca buku apa? Kan kamu sambil
kerja emang bisa?”
*Kamu bisa kok tahu banyak hal,
banyak informasi, baca banyak buku asal ada niat. Mau kuliah di sambi
beroraganisasi atau bekerja enggak bakal membatasi apa-apa yang ingin kamu
lakukan. Dengan begitu kita bisa open mind, bisa tahu banyak hal disekitar,
banyak paham hal-hal baru kalo banyak baca buku dan rajin cari informasi. Dari
mana? Internet ada, buku banyak, atau perpustakaan selalu terbuka kalo dirasa
beli buku mahal. Gampangkan? Ya itu tad, tinggal gimana kitanya aja.”
Jadi,
obrolan kami yang dimulai darimana dan berakhir entah kemana itu membuahkan
pertanyaan yang enggak bisa kami jawab sendiri seperti :
“Apa
aja sih yang mereka lakukan tujuh hari
dalam seminggu? Sampai harus nanya bahkan soal sepele macam berapa jumlah
spp semester, macam harus nanya nyari jurnal gimana caranya yang jelas-jelas
internet ada google apalagi bisa
memberikan jawaban hampir semua pertanyaan yang kita ajuin termasuk perkara
jurnal ini, macam harus nanya kapan jadwal yudisium yang jelas-jelas tahu aku
juga ada diposisi yang sama dengan mereka (kenapa harus nanya sesama enggak
tahu kalau bisa kekampus dan nanya bagian fakultas atau tata usaha?)”
Bukannya
sebagai manusia kita akan secara otomatis memecahkan masalah kalau kepepet? Dan
lagi kita dianugerahi banyak hal seperti mulut buat bertanya, otak buat mikir
harus gimana, internet yang kenceng dan gratis dibeberapa tempat kalo mau usaha
nyari, teknologi yang canggih karena dengan smartphone
semua bisa kita akses. Kenapa semua kemudahan yang ada ini enggak kita
manfaatkan? Smarphone juga bisa bikin
kita mandiri dan pinter kalo dipake dengan baik bukan hanya untuk update atau bolak balik mantengin
linimasa orang lain dan lebih enggak keren perang komentar.
Anugerah-anugerah
ini harusnya banyak ngebantu kita. Apalagi sebagai muda-mudi yang akan membawa
perubahan. Harusnya untuk hal-hal sepele macam diatas kita enggak perlu
disuapin segala. Karena masih bisa kita usahakan sendiri. Dengan disuapin,
semua serba pengen instan dan gampangnya malah justru bikin kita jadi pemalas,
jadi enggak maju, dan enggak tahu apa-apa. Sayang banget kalo tujuh hari dalam
seminggu itu enggak dipake buat hal-hal yang berguna.
Komentar
Posting Komentar