#Teacher's Diary
Mau jadi Apa?
Mungkin mereka sama seperti aku yang sampai saat ini
bingung menentukan “Mau jadi apa” suatu saat nanti. Semua hal yang ada, yang
aku dapatkan bahkan yang sedang aku jalani saat ini murni pilihan ibuku. Tetapi
aku tidak kehilangan mimpi. Sejak masih kecil aku bermimpi suatu saat nanti
entah itu kapan aku bisa membaca buku yang aku tulis, aku bisa melihat orang
lain membaca apa yang aku ceritakan. Sayangnya, aku harus menelan mimpi itu.
Ibu sangat ingin aku menjadi sosok yang bisa menjadi teladan seperti guru.
Setelah banyak tangis yang habis, aku pikir tidak ada
salahnya mencoba walau mimpi itu akhirnya akan semakin jauh untuk diraih.
Selain marah, aku cuma mengerti bagaimana caranya mengeluh tanpa pernah
berusaha buat ikhlas agar apa yang aku lakukan juga dipermudah. Hatiku masih
selalu sulit untuk menerima bahwa pada akhirnya mimpi itu aku kubur
dalam-dalam. Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan banyak orang, banyak
tempat yang dikunjungi juga banyak pengalaman yang aku dapatkan.
Sebagian dari mereka mendukung apa yang aku
cita-citakan. Kemudian, terbitlah dua antalogi. Aku senang bukan main. Ternyata
mimpi itu tak benar-benar jauh. Aku hanya perlu mengejarnya lebih keras dan
lebih cepat dari biasanya. Aku diajari bahwa belajar dan mengejar mimpi harus
dilakukan dengan ikhlas dan sabar. Aku jadi lebih sering menuliskan isi
pikiranku dalam blog atau sekedar menuliskan quotes di akun sosial media.
Dulu, permasalahanku hanya “Mau jadi apa” nanti ketika dewasa tapi tetap tidak kehilangan mimpi.
Sekarang, aku sudah menjadi seorang guru. Mengajar untuk mata pelajaran IPA.
Menjadi sesosok yang mengemban amanah yang berat. Dimana menjalani profesi
tersebut aku tidak hanya dituntut untuk mengajar dan membuat mereka pintar
secara intelektual tetapi mendidik mereka menjadi sesosok manusia yang
sejatinya manusia. Dimana sebagai manusia seharusnya mereka mengerti bagaimana
caranya saling menghormati, menghargai apalagi saling menolong sesama. Sungguh,
benar-benar tidak mudah untuk dilakukan.
Sekarang, aku kembali menanyakan hal yang sama kepada
muridku.
“Kalian mau jadi apa nanti kalau sudah besar?”. Banyak versi jawaban yang aku dapatkan dari mereka.
Ada yang antusias menjawab ada juga yang menjawab hanya sekadarnya. Lagian
enggak penting-penting amat. Mungkin begitu.
“Bu, aku mau jadi
seperti hitler”. Oke baiklah aku
cukup kaget ketika ada yang mengutarakan cita-citanya seperti itu. Tetapi aku
enggak mau merebut apa yang dia cita-citakan.
“Boleh, hitler
kan orang hebat bagus. Berarti harus rajin belajar, contohin yang baik-baiknya,
buang yang enggak bagus bisakan?”. Dia mengangguk dengan semangat, senang lihatnya.
“Jadi dokter aja
deh bu, biar semua sehat”. Sambil
senyam-senyum dan nerawang dia utarakan mimpinya. Aku aminkan dalam hati.
“Yang lain mau
jadi apa?”. Kutanyakan lagi pada
mereka karena dari puluhan siswa hanya beberapa yang memiliki mimpi. Dan betapa
terkejutnya aku ketika akhirnya mereka semua bersuara.
“Mau jadi orang”.
“Mau jadi artis”.
“Bingung bu”.
“Enggak tahu nih
bu mau jadi apa”.
“Belum kepikiran
bu”.
“Enggak mau jadi
apapun bu”.
Tugasku hanya untuk membuat mereka pintar, meluapkan
banyak ilmu yang aku punya, menceritakan pengalamanku untuk mereka ambil
pelajarannya. Itu saja sudah cukup. Aku hanya guru dimata mereka. Tetapi kenapa
aku terlalu kecewa mendengar jawaban-jawaban itu. Kenapa aku harus merasa sedih
ketika mereka tak punya tujuan hidup apalagi mimpi. Tiap saat bertemu mereka
selalu terlintas pertanyaan
Aku pikir hidup yanghanya sekali ini terlalu sia-sia
jika hanya dijalani apa adanya. Sebagai sesosok yang kini menjadi penuntun
mereka, sebagai sesosok yang pernah menyesal telah menghabiskan waktu tanpa
melakukan hal yang bermanfaat, aku enggak pengen mereka juga merasakan hal yang
sama. Karena bagaimanapun penyesalan itu
menggerogoti, waktu enggak akan pernah kembali.
Komentar
Posting Komentar