Cappucino

Danar bilang malam itu bahwa aku harus banyak mengucapkan terima kasih pada Jogja karena sudah jadi saksi pertemuanku dengannya. Enam tahun yang lalu ketika memutuskan untuk bertandang ke kota ini, aku hanya punya satu alasan. Belajar. Tidak pernah terbesit dalam pikiran bahwa akan ada banyak bonus yang aku nikmati selama perjalanan panjang belajarku. Mulai dari pertama kali merasakan manisnya bersahabat. Yes, for the first time ngerasain "bersahabat". Oh jadi begini, bersahabat jadi terasa menyenangkan ketika kami selalu melakukan banyak hal bersama. Mulai dari kuliah bareng, satu slot praktikum, ngerjain laporan bareng, nonton, masak, main. Pokoknya semua bareng. Buat aku yang independen sulit banget nyesuaiin keadaan yang seperti ini. 

Aneh aja rasanya saat terbiasa sendiri dan sekarang harus berbagi. Dari keadaan pertemanan yang seperti ini akhirnya aku ngerasain "cemburu" kalau sahabat aku di keadaan dan waktu tertentu lebih dekat dan lebih banyak menghabiskan waktunya sama teman yang lain. Seperti sesuatu yang berharga bagi kita terampas begitu saja. Disaat yang sama aku menuntut mereka untuk kembali ke lingkar rutinitasku seperti biasanya. Seperti saat pertama kali kami memulai persahabatan itu. Tetapi justru gejolak yang muncul. Kami saling merasa cemburu dan terkekang satu sama lain. Menyendiri untuk saling merenung. Persahabatan seperti apa yang sedang kami jalani? Kenapa kami saling merasa seperti ini? Harus bagaimanakah kami? Pertanyaan-pertanyaan yang saling memaksa untuk dipecahkan. 

Saat-saat menyendiri dan menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing ini berlangsung untuk waktu yang ternyata cukup lama. Satu tahun. Rekor. Meski tetap saling bertegur sapa, rutinitas nonton-jajan-main-masak-kumpul bareng itu berkurang drastis. Apalagi aku dan dua orang teman lain sibuk dengan organisasi yang kami geluti. Sisanya? sibuk dengan pikiran dan kesukaannya masing-masing. 

Benar-benar tepat. Danar hadir pada  keadaan dan waktu yang tepat. Saat semua mulai terasa salah, saat semua mulai membuat lelah makin menjadi, saat kesibukan itu mulai terasa jenuh, saat semuanya ingin aku akhiri saja. Dia membawaku ke kedai kopi sederhana yang terletak dibelakang balai kota setelah memilih dan membeli parfum favoritnya. Aku memilih secangkir cappucino panas. Dia? Robusta tentu saja. Dia penikmat kopi sejati dengan sederet filosofi yang menurutku membosankan untuk didengar. Meski begitu, dia tetap saja mengemukakannya. Baiklah (saat itu aku akan dengan senang hati berpura-pura menyimak). Satu lagi, di kedai itu punya cookies yang menurutku sangat enak. Kalian boleh coba kapan-kapan. Nama kedainya "Otentik Kopi".


Barista bertalenta itu kemudian membawakan cappucino pesananku setelah dia membuat gambar yang cukup bagus. Bersama Danar, kami bisa membicarakan banyak hal. Mulai dari yang berbobot hingga yang sangat tidak penting. Dia punya banyak stok obrolan, wawasan dan lawakan meski lawakannya lebih sering membuatku berpikir terlebih dahulu lalu tertawa. Kami punya kesukaan yang sama-membaca banyak genre buku. Selain itu parfum yang kami pakai juga punya aroma yang hampir sama. Untuk ukuran wanita aroma yang aku suka terlalu maskulin. 


Berbincang dengan Danar ternyata semenyenangkan ini, terasa seperti melengkapi sesuatu yang selama ini kurang. Oh cappucinoku sudah habis yang artinya obrolan santai bersama Danar juga sudah harus berakhir. 

Sampai jumpa besok Danar ! 






Eti Rosmiati
Denpasar, 6 Januari 2019

Komentar

Postingan Populer