THE GOOD BAD MOTHER
Aku jadi suka hari senin, walaupun selalu ngeluh dan kesal karena nggak tahu kenapa senin jadi hari paling hectic. Sembari nunggu drama yang lagi booming dengan aktornya yang uwoo sekali uri "Ryu Sun Jae" aku dapat rekomendasi drama The Good Bad Mother yang katanya bagus banget itu.
Dannnn wow gilaaaa drama ini bakal jadi list drama terbaik yang pernah aku tonton. Enggak ada satu episode pun yang diskip. Selain aktor dan aktrisnya punya kualitas yang bagus, setiap episodenya diselipin beberapa hal yang lucu apalagi warga desanya yang suka kepo tapi saling sayang, setiap episodenya juga benar-benar memperlihatkan kepada kita sudut pandang seorang ibu yang kalau kita lihat dari sisi positif maka makhluk terbaik di dunia ini adalah ibu. Tetapi kalau kita lihat dari segi negatif dan ego sebagai anak muda kita akan merasa ibu adalah orang paling jahat sedunia. Sama halnya dengan diriku sendiri, sebelum nonton drama ini sesekali masih terbersit dalam hati kalau ibu adalah manusia paling tega. Aku nggak bisa memandang ibu sebagai sesosok yang teduh, penyayang, dan tempat pulang saat seluruh dunia kejam. Sebaliknya, aku melihat beliau sebagai sesosok yang menakutkan, pemarah dan suka memukul. Lambat laun, seiring usia yang semakin dewasa, menjadi guru dan melihat berbagai macam permasalahan rumah tangga, aku jadi yakin bahwa ibu sudah melakukan tugas terbaiknya.
Dalam drama tersebut ada beberapa hal yang menarik perhatianku, pada episode awal terlihat bahwa Choi Kang Ho dipaksa ibunya terus belajar dan nggak boleh makan sampai kenyang biar dia nggak ngantuk. Tapi ibuku pernah membuatkan kami dua loyang bolu yang dulu tidak bisa beliau nikmati karena segala macam luka dan keterbatasannya. Memaksa kami menghabiskan bolu itu tanpa bersisa sampai salah satu diantara kami muntah karena tidak mampu lagi menelannya.
Episode lainnya memperlihatkan Choi Kang Ho yang dipukul ibunya karena punya nilai yang standar. Sama persis dengan ibu, jantung selalu berdebar kencang setiap kali rapot semester dibagikan. Ibu tidak pernah mau mengambil rapot kesekolah. Aku mengambilnya sendiri sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah dan tidak pernah mempermasalkannya meski teman-teman seusiaku diambilkan lengkap oleh kedua orangtuanya. Perjalanan panjang menuju rumah yang ditempuh kurang dari 2 km dengan berjalan kaki itu terasa semakin tidak berujung, karena selalu membayangkan apa yang akan dilakukan ibu dengan nilai rapotku saat itu. Oh tentu saja, seperti dugaanku Ibu akan mulai menatap mataku dalam - dalam saat aku hampir sampai dipintu, mengambil rapot tanpa membalas tanganku yang ingin mencium tangannya, membaca dan memperhatikan detail rapot lusuh lalu masuk ke dapur. Aku membalikkan badan, menarik napas dan sudah mempersiapkan diri dengan apapun yang akan ibu lakukan. Hari itu aku hanya dapat rangking empat, lalu bambu kecil berayun hingga lebih dari tujuh kali dibetis kecil anak sekolah dasar. Aku menangis hanya sampai dipukulan ketiga sisanya menggigit bibir dan menarik napas. Tidak lagi terasa sakit hingga akhirnya ibu mulai lelah memukul saat aku hampir lulus sekolah menengah. Seperti halnya anak seusia itu, apakah lantas aku protes dan meluapkan amarah? Tidak ! Sama sekali tidak pernah dan hanya menerimanya saja.
Choi Kang Ho tidak hanya dipukuli ibunya karena nilai tetapi juga karena dia tidak diizinkan untuk berteman. Lucu ya, lagi-lagi sama dengan ibuku yang tidak memperbolehkan kami mempunyai teman. Pernah suatu hari, aku pulang terlambat dari biasanya. Adikku yang berkebutuhan khusus menangis dan tantrum karena aku ingin sekali bermain dilapangan dan kutinggalkan dia tidak jauh denganku. Tangisnya tidak kunjung berhenti, aku mengayuh sepeda dengan tangan dan kaki gemetar. Tidak, bukan karena adikku terasa berat. Sungguh aku sudah terbiasa menggendong dan mengajaknya bersepeda karena dia belum bisa berjalan meski sudah berumur lima tahun. Hanya penasaran, pukulan seperti apa yang akan aku terima kali ini. Wajah ibu muncul dari balik daun pintu, aku memejamkan mata sebentar, menggendong dan meletakkan adikku dikamar, menyingsing lengan baju dan celana, berdiri menghadap tembok dan bambu kecil itu di ayunkan lagi, terus sampai kaki kecilku saat itu sudah tidak mampu berpijak. Banyak sekali alur dan cerita drama tersebut yang mirip dan menyakitkan. Sepertinya aku tidak lagi sanggup untuk mengingat dan menulisnya, bukan karena akan sedih tetapi lelah untuk diingat kembali.
Meski sangat bagus, menonton drama ini seperti melihat diriku sendiri yang dulu. Keterbatasan, kesulitan, tangis, amarah dan banyak ketidakadilan itu terus menjadi luka yang seperti tidak pernah sembuh. Tetapi, ada satu hal yang aku syukuri, dengan semua hal berat yang sudah terlewati itu aku tumbuh menjadi anak yang kehabisan energi untuk dendam dan melampiaskan semua dampaknya ke arah yang negatif. Dulu do'anya masih lengkap, harapannya masih tinggi. Sekarang cuma mau bilang semoga Allah bisa menunjukkan apa-apa yang terjadi dulu dan kemarin akan berbuah manis,
Komentar
Posting Komentar